Kamis, 01 Agustus 2013

Legit Laba Angkringan yang Tak Kunjung Datang

Anda yang mengikuti perkembangan dunia kuliner pasti tak luput mengamati fenomena kemarakan angkringan. Ya, tempat makan sederhana berkonsep lesehan dengan suguhan khas nasi kucing itu, semakin menjamur di sekitar kita, termasuk di sudut-sudut wilayah Jabodetabek.

Semula angkringan cuma ngetop di daerah Yogya, Solo, dan sekitarnya. Namun, kini angkringan sudah menjadi salah satu pilihan tempat makan  kakilima yang menasional tak kalah menjamur dengan warung Tegal dan pecel lele Lamongan.

Tentu bukan tanpa sebab mengapa kemunculan angkringan begitu semarak. Bisnis menyangkut perut, dari kelas teri hingga kakap, termasuk bisnis yang susah mati. Apalagi, angkringan yang menawarkan “nostalgia” ala Solo dan Yogya dengan harga murah itu.

Modal yang dibutuhkan untuk berbisnis angkringan ini termasuk kecil. Tak perlu puluhan juta rupiah untuk memulai, namun peluang keuntungannya bisa ratusan ribu bahkan jutaan rupiah per hari. Peluang legit itulah yang menjadi modal jualan pebisnis angkringan dalam menjaring mitra bisnis.

Namun, tak selamanya kelegitan bisnis yang ditawarkan itu menjadi kenyataan. Angkringan Gampil menyeruak ke perbincangan publik sebagai kemitraan angkringan yang terancam gagal total.
Usaha angkringan itu dibesut oleh Narian Al Misbach pada November 2012. Masih seumur jagung, Gampil yang tampil dengan desain gerobak angkringan inovatif berbentuk kepala kucing itu berani menawarkan kemitraan ke publik dengan investasi awal mulai Rp 10 juta hingga Rp 15 juta.

Hitungan Gampil, dengan asumsi omzet harian sebesar Rp 300.000–Rp 350.000 atau Rp 8 juta–Rp 10,5 juta per bulan, maka dalam waktu lima bulan, modal awal sudah kembali. Tawaran kemitraan ini marak dipromosikan melalui media sosial, pameran wirausaha, juga lewat mailing list-mailing list (milis).

Imbal hasil selangit
Salah satu yang tertarik bergabung adalah Tono, bukan nama sebenarnya, seorang karyawan swasta di Jakarta. “Saya tahu ada peluang investasi angkringan ini dari milis Safir Senduk dan Rekan (SSR), melalui Pak Budi Rachmat. Tawarannya, modal investasi Rp 11 juta  mendapat passive income Rp 50.000–Rp 60.000 per hari,” kisahnya kepada KONTAN.

Jika dihitung, imbal hasil sebesar itu setara dengan Rp 1,5 juta–Rp 1,8 juta per bulan atau 13,6%–16,36% dari nilai pokok investasi atau sekitar 196% per tahun! Modal relatif kecil, tak perlu repot ikut mengelola operasional angkringan, ditambah potensi return nan ranum, Tono pun bergabung pada November 2012.

Angkringan Gampil dijanjikan akan mulai berjalan pada Januari 2013. Dengan kata lain, investor akan mulai menerima pembagian keuntungan mulai bulan itu. Sebelum resmi bergabung, para investor mendapat presentasi dari manajemen Angkringan Gampil di kawasan Jakarta Barat.

Tono tak sendiri, ada sekitar 40 rekan sesama anggota milis SSR yang masuk sebagai investor Gampil. Uniknya, alih-alih menyetor investasi ke Narian, mereka menyetor dana investasi ke Budi yang bertindak laiknya broker kemitraan.

Total dana investor yang berhasil digalang Budi sekitar Rp 700 juta. Masih ada kelompok investor yang masuk ke Gampil melalui broker lain maupun masuk langsung tanpa perantara. Total jenderal, dana investor Angkringan Gampil ditaksir berkisar Rp 1 miliar
.
Tunggu punya tunggu, hingga pertengahan Januari 2013, operasionalisasi Gampil tak jua berjalan. “Gampil dan Pak Budi bilang, pelaksanaan terhambat kekurangan tenaga kerja penjual angkringan,” ujar Tono.
Untuk menenangkan investor, Gampil berjanji memberikan kompensasi keterlambatan sebesar 2% dari modal awal atau sekitar Rp 220.000 yang akan dikirim oleh Budi. Investor juga dijanjikan Gampil akan mulai berjalan Maret 2013. Tapi, janji itu ternyata kosong.

Gampil bangkrut?
Beberapa investor akhirnya memilih mundur dan meminta dananya kembali. Manajemen Gampil merespon dengan memberikan bilyet giro untuk dicairkan pada Juni 2013. Tapi, bilyet itu ternyata ditolak bank karena kosong. “Sampai saat ini tak sepeser pun hasil usaha yang diterima investor,” keluh Tono.
Terakhir, Mei lalu Gampil berjanji akan mengembalikan dana investor sepenuhnya dalam dua tahap, yakni 50% pada Desember 2013 dan sisanya pada Juni 2014. Tono menunggu pertanggungjawaban Gampil dan Budi selaku broker investasi tersebut. “Kebanyakan dari kami tertarik ikut karena percaya pada Pak Budi,” jelas Tono.

Harry, salah satu investor angkringan Gampil menilai, kasus ini merupakan kasus penipuan. Namun, Harry enggan menjelaskan apa langkah berikut yang akan ia tempuh untuk menyelesaikan kasus ini.

Ketika diklarifikasi, Budi menjelaskan, posisi dia hanyalah sebagai perantara. Pendiri Tangan di Atas (TDA) ini membundel tawaran kemitraan itu dengan tiket booth Pesta Wirausaha yang dia jual saat itu. Dus, yang berminat mengambil tawaran harus sekaligus membeli tiket hajatan itu.

Harga tiket dia jual Rp 1 juta. Alhasil, harga kemitraan yang dia tawarkan lebih tinggi ketimbang harga asli dari Narian sebesar Rp 10 juta. “Ini bukan bisnis saya, urusannya sama Pak Narian. Saya sendiri investasi di situ mengambil satu paket gerobak,” jelasnya. Toh, Budi berhasil menggaet sekitar 40 mitra dengan dana sekitar Rp 700 juta.

Terkait dengan tuntutan para investor angkringan Gampil  yang dia himpun melalui milis, Budi mengaku tidak akan menghindar. “Sekarang bersama-sama saja mencari solusi yang konkret,” kata dia.
Budi bilang, Mei lalu Narian mengaku bangkrut. Jika benar bangkrut, nasib duit investor yang tersangkut di sana akan kian tak jelas.

KONTAN telah berusaha meminta klarifikasi dari Narian, melalui telepon maupun email. Dari empat nomor telepon Gampil, hanya satu yang merespon melalui pesan pendek, yakni dari Nur, istri Narian. “Maaf, saat ini saya sedang tidak ingin diganggu,” tulisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar